(Pernäh dipulikasikan di status Facebook saya pada tanggal 7 Mei 2020)
Bicara tentang “berhenti” jadi atlet kadang masih dianggap tabu, kemungkinan karena kata “menyerah” atau “berhenti” itu sering diasosiasikan dengan kelemahan. Padahal, merencanakan “kapan berhenti menjadi atlet” juga berarti merencanakan “puncak prestasi apa yang ingin diraih”. Kalau kita menyadari masa emas menjadi atlet itu pendek, kita akan lebih menghargainya.
Kita perlu melihat lebih dekat tentang hal ini, mengingat berhenti menjadi atlet adalah sesuatu yang masih sangat jarang dibicarakan. Saya pernah comeback dan bertanding lagi di usia 33 tahun. Gelanggang terakhir saya hanyalah sebuah seleksi skala daerah yang tak banyak ditonton, tapi cukup berkesan untuk ‘dikenang’. Hanya saja, memang banyak yang tidak tahu, Meskipun saya bertanding sampán umur di atas 30, semua itu berada dalam rencana yang disadari bersama-sama. Orang-orang terdekat di keluarga saya mengetahui hal ini.
Tetapi kalau merenungi pengalaman di masa lalu, sebenarnya ada dua hal yang membuat saya memikirkan perencanaan pensiun ini.
Pertama, ada mbak senior di perguruan yang hingga kini suami dan saya masih cukup akrab dengan beliau. Salah satu yang kami kagumi adalah ketegasannya dalam merencanakan karier silatnya. Ia sudah memutuskan untuk berhenti setelah meraih Juara POMNAS, meskipun usianya masih cukup. Sebut saja beliau dengan nama “Mbak Q”. Kalau aku mengingatnya, ada perbedaan sikap yang dimiliki mbak Q yang juga berkaitan dengen kondisi keluarganya. Kita memang harus realistis melihat kehidupan, dan aku berasumsi, mbak Q tahu jelas tantangan yang dia hadapi sehingga memutuskan untuk berhenti di usia duapuluhan.
Yang kedua, beda jauh dengan mbak Q. Mas Z namanya, dan kalau saya saya sebut sedikit ciri-cirinya, semisal ukuran sepatunya yang mencapai 47, pasti banyak yang kenal. Mas Z ini sangat akrab dengan adik-adik juniornya, dan even terakhirnya adalah PON 2004 dimana usianya benar-benar mepet 35 tahún, status sudah berkeluarga, sudah PNS, namun masih semangat berlatih. Kalau kalian bertanya apa yang paling saya ingatan tentang mas Z, adalah dia pernah bercerita pada kita semua, kisahnya sejak awal menjadi atlet sejak SMU hingga menghuni pelatnas SEA Games; membuat saya berpikir, “This man is living his athletic career to the fullest,”
Di satu waktu di tahapan usia, saya pernah punya beberapa cita-cita, diantaranya adalah cita-cita yang memaksa saya untuk memilih salah satu. Keputusan sulit, tapi artinya ada konsekuensi dan tanggung jawab menjalani keputusan itu. Saya semacam orang yang tidak ingin mengambang tanpa arah; “Kalau tidak bisa A, ya pindah ke rencana B”. Jadi, meratapi kegagalan juga tidak perlu sampai lama-lama; terlena pada keberhasilan juga tidak perlu sampai membelenggu (meskipun easy to say than do, TBH).
Dengan kata lain; kalau kita menyadari masa menjadi atlet itu terbatas usia, seharusnya pada masa usia yang pendek itu, kita memastkan diri untuk benar-benar maksimal melakukannya.
Artinya lagi;
– tidak boleh ada membuang waktu percuma
– tidak boleh ada latihan yang sia-sia tanpa arah dan tujuan;
– tidak boleh ada kegagalan tanpa mengambil pelajaran (kalah-menang itu pasti tapi belajar-dari-kekalahan-dan-move-on itu pilihan);
– tidak boleh ada kemenangan yang justru menghambat langkah untuk berkembang (jadi jumawa dan merasa cukup, misalnya).
– tidak boleh ada pengabaian terhadap kondisi badan (semisal cedera atau sakit) yang pengaruhnya berjangka panjang pada kesehatan
Membicarakan pensiun itu, ini adalah sesuatu yang HARUS direnungi oleh ATLET SENDIRI; karena yang paling paham kondisi psiko-sosial anda adalah anda sendiri.
Jalur karier setiap atlet itu unik; tidak bisa disamakan satu sama lain. Mungkin saya mirip mas Z yang ngotot bermain sampái usia 30-an, atau seperti mbak Q yang banyak berlomba di kompetisi mahasiswa karena nyambi kuliah; tapi dalam beberapa hal, kondisi saya juga jauh berbeda dengan mas Z dan mbak Q.
Pelatih hanya mampu membaca, berasumsi, namun anda sendirilah yang menjalani. Andalah sendiri yang menakar sejauh apa, selama apa anda ingin berada di gelanggang. Pelatih pun juga akan memberikan banyak pertimbangan, kalau anda MENGAJAK berdiskusi mengenai perencanaan masa depan. Mulai dari membantu anda mengidentifikasi tantangan (termasuk rivalitas dan kompetitor), peluang, mengarahkan pekerjaan yang sesuai, ataupun; menyarankan dengan berat hati agar anda berhenti, kalau itu berdampak pada keselamatanmu sendiri (ini memang pembicaraan yang sulit; tapi berolahraga kompétitif memang ada resiko cedera dan sakit).
Menjadi atlet memang akan menjadi masa yang singkat, tapi dalam singkatnya waktu itu, sekencang apa anda akan berlari menjalaninya? Sekeras kepala apa anda dalam menghadapi tantangan di depan anda? Dan sedalam apa, anda menghayati tunggung jawab akan keputusan yang telah dijalani? Ini perenungan yang sangat subjektif. Tapi pastikan harus ada, karena kita sebaiknya mengucapkan selamat tinggal pada gelanggang tanpa ada rasa penyesalan.
Sebelum mengakhiri, saya mau dongeng ala-ala Disney dulu yak (bukan endorse!).
Ada sebuah pesawat bernama Dusty, yang pada awalnya dia cuma pesawat penyiram air dan pupuk di pertanian. Si Dustry ini pingin jadi pesawat racing yang berlomba keliling dunia, maka dia kerja keras untuk itu, dan akhirnya berhasil. Kisah selengkapnya bisa dilihat di film CG animasi Planes.
Eh, ternyata kisah ini ada lanjutannya.
Suatu saat, Dusty menyadari kalau ternyata kampung asalnya tidak bisa jadi tuan rumah perlombaan racing, karena kekurangan pesawat pemadam kebakaran. Akhirnya Dusty melamar jadi pesawat pemadam kebakaran training di bawah helikopter galak Blade Ranger. Ternyata, pengalaman itu justru membuatnya melihat, bahwa ada dunia yang lebih luas dimana kecepatan dan kekuatannya juga berguna untuk masyarakat. Kisah ini happy ending dengan dramatis, lengkapnya tonton sendiri di film Planes: Fire and Rescue; highly recommended untuk ditonton karena banyak pelajaran bagus yang bisa dipetik (eh tapi jangan terus buru-buru memutuskan kamu mau pensiun ya, begitu nonton ini…!).
Semoga bermanfaat,
and #stayathome,
#staysafestaysane
foto:
Chrissie Wellington gym, alumni University of Birmingham – school of Geography, 4-times Ironman triathlon champion, now ParkRun initiator and facilitator.