Tulisan untuk atlet pada masa pandemi (3): Transisi karier dan persiapan pensiun untuk atlet

(Pernäh dipulikasikan di status Facebook saya pada tanggal 7 Mei 2020)

Bicara tentang “berhenti” jadi atlet kadang masih dianggap tabu, kemungkinan karena kata “menyerah” atau “berhenti” itu sering diasosiasikan dengan kelemahan. Padahal, merencanakan “kapan berhenti menjadi atlet” juga berarti merencanakan “puncak prestasi apa yang ingin diraih”. Kalau kita menyadari masa emas menjadi atlet itu pendek, kita akan lebih menghargainya.

Kita perlu melihat lebih dekat tentang hal ini, mengingat berhenti menjadi atlet adalah sesuatu yang masih sangat jarang dibicarakan. Saya pernah comeback dan bertanding lagi di usia 33 tahun. Gelanggang terakhir saya hanyalah sebuah seleksi skala daerah yang tak banyak ditonton, tapi cukup berkesan untuk ‘dikenang’. Hanya saja, memang banyak yang tidak tahu, Meskipun saya bertanding sampán umur di atas 30, semua itu berada dalam rencana yang disadari bersama-sama. Orang-orang terdekat di keluarga saya mengetahui hal ini.

Tetapi kalau merenungi pengalaman di masa lalu, sebenarnya ada dua hal yang membuat saya memikirkan perencanaan pensiun ini.

Pertama, ada mbak senior di perguruan yang hingga kini suami dan saya masih cukup akrab dengan beliau. Salah satu yang kami kagumi adalah ketegasannya dalam merencanakan karier silatnya. Ia sudah memutuskan untuk berhenti setelah meraih Juara POMNAS, meskipun usianya masih cukup. Sebut saja beliau dengan nama “Mbak Q”. Kalau aku mengingatnya, ada perbedaan sikap yang dimiliki mbak Q yang juga berkaitan dengen kondisi keluarganya. Kita memang harus realistis melihat kehidupan, dan aku berasumsi, mbak Q tahu jelas tantangan yang dia hadapi sehingga memutuskan untuk berhenti di usia duapuluhan.

Yang kedua, beda jauh dengan mbak Q. Mas Z namanya, dan kalau saya saya sebut sedikit ciri-cirinya, semisal ukuran sepatunya yang mencapai 47, pasti banyak yang kenal. Mas Z ini sangat akrab dengan adik-adik juniornya, dan even terakhirnya adalah PON 2004 dimana usianya benar-benar mepet 35 tahún, status sudah berkeluarga, sudah PNS, namun masih semangat berlatih. Kalau kalian bertanya apa yang paling saya ingatan tentang mas Z, adalah dia pernah bercerita pada kita semua, kisahnya sejak awal menjadi atlet sejak SMU hingga menghuni pelatnas SEA Games; membuat saya berpikir, “This man is living his athletic career to the fullest,”

Di satu waktu di tahapan usia, saya pernah punya beberapa cita-cita, diantaranya adalah cita-cita yang memaksa saya untuk memilih salah satu. Keputusan sulit, tapi artinya ada konsekuensi dan tanggung jawab menjalani keputusan itu. Saya semacam orang yang tidak ingin mengambang tanpa arah; “Kalau tidak bisa A, ya pindah ke rencana B”. Jadi, meratapi kegagalan juga tidak perlu sampai lama-lama; terlena pada keberhasilan juga tidak perlu sampai membelenggu (meskipun easy to say than do, TBH).

Dengan kata lain; kalau kita menyadari masa menjadi atlet itu terbatas usia, seharusnya pada masa usia yang pendek itu, kita memastkan diri untuk benar-benar maksimal melakukannya.

Artinya lagi;
– tidak boleh ada membuang waktu percuma
– tidak boleh ada latihan yang sia-sia tanpa arah dan tujuan;
– tidak boleh ada kegagalan tanpa mengambil pelajaran (kalah-menang itu pasti tapi belajar-dari-kekalahan-dan-move-on itu pilihan);
– tidak boleh ada kemenangan yang justru menghambat langkah untuk berkembang (jadi jumawa dan merasa cukup, misalnya).
– tidak boleh ada pengabaian terhadap kondisi badan (semisal cedera atau sakit) yang pengaruhnya berjangka panjang pada kesehatan

Membicarakan pensiun itu, ini adalah sesuatu yang HARUS direnungi oleh ATLET SENDIRI; karena yang paling paham kondisi psiko-sosial anda adalah anda sendiri.

Jalur karier setiap atlet itu unik; tidak bisa disamakan satu sama lain. Mungkin saya mirip mas Z yang ngotot bermain sampái usia 30-an, atau seperti mbak Q yang banyak berlomba di kompetisi mahasiswa karena nyambi kuliah; tapi dalam beberapa hal, kondisi saya juga jauh berbeda dengan mas Z dan mbak Q.

Pelatih hanya mampu membaca, berasumsi, namun anda sendirilah yang menjalani. Andalah sendiri yang menakar sejauh apa, selama apa anda ingin berada di gelanggang. Pelatih pun juga akan memberikan banyak pertimbangan, kalau anda MENGAJAK berdiskusi mengenai perencanaan masa depan. Mulai dari membantu anda mengidentifikasi tantangan (termasuk rivalitas dan kompetitor), peluang, mengarahkan pekerjaan yang sesuai, ataupun; menyarankan dengan berat hati agar anda berhenti, kalau itu berdampak pada keselamatanmu sendiri (ini memang pembicaraan yang sulit; tapi berolahraga kompétitif memang ada resiko cedera dan sakit).

Menjadi atlet memang akan menjadi masa yang singkat, tapi dalam singkatnya waktu itu, sekencang apa anda akan berlari menjalaninya? Sekeras kepala apa anda dalam menghadapi tantangan di depan anda? Dan sedalam apa, anda menghayati tunggung jawab akan keputusan yang telah dijalani? Ini perenungan yang sangat subjektif. Tapi pastikan harus ada, karena kita sebaiknya mengucapkan selamat tinggal pada gelanggang tanpa ada rasa penyesalan.

Sebelum mengakhiri, saya mau dongeng ala-ala Disney dulu yak (bukan endorse!).

Ada sebuah pesawat bernama Dusty, yang pada awalnya dia cuma pesawat penyiram air dan pupuk di pertanian. Si Dustry ini pingin jadi pesawat racing yang berlomba keliling dunia, maka dia kerja keras untuk itu, dan akhirnya berhasil. Kisah selengkapnya bisa dilihat di film CG animasi Planes.

Eh, ternyata kisah ini ada lanjutannya.
Suatu saat, Dusty menyadari kalau ternyata kampung asalnya tidak bisa jadi tuan rumah perlombaan racing, karena kekurangan pesawat pemadam kebakaran. Akhirnya Dusty melamar jadi pesawat pemadam kebakaran training di bawah helikopter galak Blade Ranger. Ternyata, pengalaman itu justru membuatnya melihat, bahwa ada dunia yang lebih luas dimana kecepatan dan kekuatannya juga berguna untuk masyarakat. Kisah ini happy ending dengan dramatis, lengkapnya tonton sendiri di film Planes: Fire and Rescue; highly recommended untuk ditonton karena banyak pelajaran bagus yang bisa dipetik (eh tapi jangan terus buru-buru memutuskan kamu mau pensiun ya, begitu nonton ini…!).

Semoga bermanfaat,
and #stayathome,
#staysafestaysane

foto:
Chrissie Wellington gym, alumni University of Birmingham – school of Geography, 4-times Ironman triathlon champion, now ParkRun initiator and facilitator.

Gambar mungkin berisi: 1 orang, dalam ruangan
Dipublikasi di Artikel Kepelatihan Olahraga, psikologi olahraga | Tag , , | Meninggalkan komentar

Tulisan untuk atlet di masa pandemi (2) – The Ownership of a Goal

(Pernah dipublikasikan sebagai status Facebook saya pada tanggal 2 Mei 2020)

.
.
.

Keputusan awal saya menjadi atlet mungkin karena rasa iri.
Melihat mereka yang pakai jaket defile kontingen (Jawa Timur, waktu itu) ada perasaan iri yang membuncah. Tambah kebakar ketika melihat performa mereka “Aku ingin seperti itu”. Polos dan naif banget si Kur ini. Lalu lama-lama, ingin juga pakai Garuda, merah putih. “Aku juga ingin keluar negeri gratis, naik podium,” dan lumayan beruntung, berangkat ke Hanoi-Vietnam naik Singapore Airlines. Lumayan juga, ke Malaysia 2x dan Singapore sekali, naik podium 3-4 kali. Sering dipanggil seleknas tapi ‘cuma’ tim lapis dua karena persaingan nasional aja amat ketat. Tahun 2015 saya pensiun, 2016 langsung merantau ke Inggris buat kuliah S3 (nekat amat lo Kur, hahaha) lewat jalur LPDP afirmasi prestasi. FYI, untuk berangkat ke Inggris itu persiapannya sejak 2012, hahaha. Mirip-mirip jadi atlet lah, latihan bertahun-tahun untuk sebuah even.

Cukup narsis-nya (lagipula elo gak penting2 amat, Kur). Saya mau bahas sedikit aja tentang tujuan, biar keren sedikit, “the Ownership of Goal” namanya. Saya enggak bicara tentang motivasi di sini, juga enggak mau bicara tentang mimpi disini, karena itu ambigu banget. Tapi kalau “goal”, atau “tujuan”, sebenarnya adalah perwujudan mimpi yang dituangkan ke dalam target-target dan usaha, termasuk menjalani program latihan.

“90 persen kemenangan ditentukan oleh atlet sendiri, pelatih hanya sebagian dari 10 persen,” kalimat itu sering diulang-ulang di telinga saya (oleh pelatih yang selalu pakai celana pendek yang saya selalu kelupaan kapan hari ulang tahunnya); yang bikin saya terus menerus berpikir.

Terus, siapa yang sebenarnya memiliki tujuan untuk bertanding itu… atlet? atau pelatih? Atau organisasi olahraga? Atau perguruan?

Perenungan saya juga dibarengi dengan mengamati berbagai hal yang terjadi dalam keseharian berlatih dan bertanding. Kalah dan menang memang bagian dari pêrtandíngan itu sendiri. Saya menyaksikan mas Suhud Indratno kalah 12 – 13 kali dulu (sepurane cak tak gawe contoh yoo) dan dia keras kepala saja tetap latihan, sampai akhirnya di Sirkuit nasional 2007 bisa menang dan dapat predikat elite athlete dari sana… sementara persaingannya sendiri enggak bisa dibilang mudah, mas Goes Sello selalu setia menunggu untuk saling membanting di gelanggang (ampun pak notaris mohon ijin di-mention juga) sampai akhirnya mereka memutuskan menempuh jalan masing-masing (pisah kelas, hehehe). Saya pun, kalau diingat-ingat… memang kalah berkali-kali, dan juga nangis bolak-balik karena masalah studi S2 + latihan yang Masya Allah beratnya, sampai kerja kelompok Tugas akhir pun digelar di asrama Dispora (Ki Demang saksinya), sampai sering dipertanyakan oleh Desinta Adelia Wardani dulu “Buat apa sih bu…?”. Eh, buat apa, yak?

Kalau dilihat di permukaan, berkali-kali kalah itu sepertinya menyakitkan dan mengecewakan. Belum lagi menghitung biaya moril dan materiil-nya.

Tapi sebenarnya tidak begitu.

Di setiap kalah dan menang yang dilewati, ada pelajaran yang diambil. Ada keterampilan yang baru, ada teknik yang dicoba dengan trial-and-error, ada taktik dan strategi yang baru, ada semacam lived experience “oh ternyata dengan latihan seperti X1, X2, X3, saya bisa mencapai Y1, Y2, Y3,”. Ada proses pembelajaran mencoba-dan-salah secara langsung di gelanggang, yang itu bisa digunakan sebagai dasar untuk berkembang selanjutnya.

Dan itulah beda antara novice (pemula) dengan elite atau advanced (mahir). Kalau di ilmu psikologi, beda antara emula tengan mahir itu diantaranya dalam hal-hal ini: mereka yang mahir bisa melihat lebih detil, dan bisa memprediksi lebih akurat.

Jadi, mas Suhud Indratno, mas Goes Sello bukan cuma sekdar kalah-menang-kalah doang; tapi mereka memiliki kepercayaan bahwa semua pengalaman itu akan mengarah pada satu tujuan: menjadi pemenang. Kalau tidak tahun ini, tahun depan, selama usia masih memungkinkan. Kalau bukan di even ini, di even lain, karena jalur menuju elite athlete cukup banyak. Yes?

Dan inilah perbedaan penting antara atlet yang “memiliki tujuan” dengan mereka yang “tujuannya ditentukan oleh orang lain”.

Pada atlet yang tujuannya ditentukan oleh orang lain (atau oleh organisasi), kemampuan untuk belajar tidaklah secepat mereka yang “memiliki tujuan” tersebut. Mengapa? Karena ini berkaitan dengen kepemilikan terhadap pengalaman. Atlet yang memiliki “ownership to my own goal” akan lebih terikat secara intim pada pengalaman menang-kalahnya itu, sehingga stimulasi pembelajarannya akan lebih mendalam terhadap pengalaman tersebut. Kekalahannya akan membuatnya benar-benar belajar, sedang kemenangannya benar-benar akan membentuk kepercayaan diri akan keunggulan apa yang ia miliki, bahkan dipoles semakin tajam. Biasanya, pada satu titik, para atlet ini akan melewati satu tahapan dimana ia menang terus menerus (seolah tak terkalahkan) karena akumulasi pengalamannya itu.

Sementara pada atlet yang “tujuannya ditentukan orang lain”, menang dan kalah sebatas pemenuhan tugas dan kewajiban saja. Ini juga berlaku pada atlet yang “tujuannya ditentukan oleh hal-hal di luar dirinya” seperti hadiah, uang, pujian, popularitas. Mengapa? Karena reward eksternal tersebut tidaklah bertahan lama; fluktuatif, dan juga sangat relatif. Bayangkan skenario begini; “Ah, saya harus menang, supaya dapat bonus 10 juta,” lalu sebelum final, anda baru tahú kalau lawan anda bonus peraknya saja 30 juta. Kecewa dong…? Hehehe.

(Inilah mengapa seharusnya kejuaraan pelajar dan remaja itu tydac boleh reward-oriented, karena membuat keterlibatan dalam olahraga dimotivasi oleh sesuatu yang rapuh: duit (yang gampang banget abisnya, hahaha *ketawapedih).

Dan ketahuilah juga; semakin tinggi tingkat kejuaraan, tantangannya juga semakin banyak. Rivalitas membuat anda harus berlatih lebih keras, yang artinya, latihan bukan lagi sekedar menjaga kesehatan, tapi dituntut untuk mencapai suatu performa unggul secara fisik dan teknik. Artinya terlibat dalam olahraga tidak lagi melayani ego anda, tapi mulai bergeser menjadi “menguji sekuat apa anda bertahan di sini”. Semakin tinggi, tantangan juga semakin banyak. Relokasi, berlatih di kondisi yang tidak familiar, bertanding di berbagai negara, berbagai kondisi psikososial yang bermacam-macam, bisa terjadi. Bukan hanya ketangguhan mental, tapi ‘versatility’, atau fleksibel menyesuaikan dengan berbagai rangka dan suasana juga diperlukan.

Dan kalau rasa kepemilikan anda terhadap “tujuan” tidak cukup kuat, kemungkinan untuk berhenti sangatlah tinggi. Tapi kalau kepemilikan terhadap tujuan itu cukup kuat, maka kemungkinan anda bangkit dari kegagalan dan belajar dari kekalahan akan terjadi; it will make you smarter, sharper, stronger. Anda juga akan menjadi kritis dengan beban program latihan yang diberikan oleh pelatih; “apakah hari ini saya mencapai progress yang bisa mengantar saya menuju tujuan itu?”

Secara jujur, ini mengingatkan saya akan sebuah komik yang pernah saya baca waktu SMA tentang baseball, dimana sang pemain ace (posisinya pitcher, pelempar) tiba-tiba merasa ragu dengan kemanpuannya. Mengapa? Karena lawannya memiliki reputasi menakutkan mampu memukul bola secepat apapun. Dan di adegan itu, saya ingat sekali pelatihnya bilang:

“Lempar bola itu dari dasar hatimu sendiri!”

Artinya: si pelatih mengingatkan kembali, untuk jangan terpusat pada apa yang terjadi pada bola yang dilemparnya; tapi memusatkan pada bagaimana ia melempar bola itu. So it is not about what comes next, but what I have to do next.

Pembahasan paragraf-paragraf di atas sebenarnya aplikasi praktis terhadap beberapa penelitian yang sudah lama dilakukan di psikologi olahraga: Self-determination theory (cek blog-nya Mbak Febriani Herlambang untuk penjelasan dalam Bahasa Indonesia), Task and Ego orientation, dan juga the role of deliberate practice. Kalau ada yang butuh sumbernya, silahkan japri saja, yes…!

.
.
.

pembahasan berikutnya:

(enggak lengkap kalau tidak secara kepala dingin membahas suatu hal yang biasanya jarang dibicarakan):

Transisi karier dan persiapan pensiun (3)
.
.
.

bahan bacaan:

https://febrianiekawati.wordpress.com/…/self-determination…/

Komiknya judulnya The Pitcher oleh Kei Sadayasu, saya lupa jilid berapa halaman berapa. Nanti kalau ada contoh yang lebih baik, saya tambahin deh.

(foto: dojo di university of Birmingham – koleksi pribadi)

Gambar mungkin berisi: tabel dan dalam ruangan
Dipublikasi di Artikel Kepelatihan Olahraga, psikologi olahraga | Tag , , | Meninggalkan komentar

Efek Pandemi pada Atlet (1): Sebuah ringkasan rekomendasi penanganan secara psikologis

(tulisan ini pernah dipublikasikan sebagai sebuah post di akun Facebook saya, pada tanggal 2 Mei 2020)

Pandemi berskala global Covid-19 membuat banyak even olahraga ditunda, termasuk Olimpiade dan PON 2020. Efek sosial ekonomi tentu saja signifikan pada masyarakat, juga pada para pelaku olahraga seperti atlet dan pelatih.

Tentu banyak atlet yang merasa gelisah akan ditundanya even ini: berkaitan dengan bagaimana mempertahankan performa, usia, dan juga efek psikosial lainnya akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB/lockdown). Tulisan ini saya buat dalam rangka mengisi celah pembahasan dalam psikologi olahraga di Indonesia. Tulisan ini disarikan dari berbagai artikel yang saya baca selama ini (sumber bisa dilihat di bagian bawah) digabungkan dengan refleksi pengalaman dan diskus denna beberapa pelatih. Tulisan ini juga akan debut berseri, Karena saya melihat ‘kekosongan celah’ ini bukan hanya masala pandemi saja, tapi berkaitan dengan transisi karier, kepemilikan tujuan/the ownership of goal, dan identitas. Ini adalah seri pertamanya, dan disini saya akan membahas tentang bagaimana atlet menyikapi pandemi ini.

Pertama-tama, perlu dipahami bahwa perubahan yang drastis tidak hanya dialami oleh atlet, tapi juga oleh lingkaran terdekat kalian: pelatih, teman berlatih, para penggiat olehraga, organisasi olahraga, pemerintah, dan juga masyarakat luas yang terdampak secara ekonomi. Pandemi ini adalah sesuatu yang bereda di luar kendali anda, sementara bagaimana anda berpikir menyikapi pandemi ini dan apa yang anda lakukan masih bisa anda kendalikan.

Namun untuk dapat mengendalikan pikiran, sikap dan perilaku kita, ada baiknya kita secara jelas mengidentifikasi tantangan dan permasalahan yang dihadapi saat ini, akibat dari tertundanya Olimpiade dan PON 2020:

1. Gangguan pada karier atlet

penundaan tentu saja mempengaruhi karier atlet, pada tahapan apapun ia, dengan dampak yang berbeda-beda.
Pada atlet baru, pendundaan ini bisa melegakan Karena memberikan waktu untuk memoles performa menjadi lebih baik. Pada atlet yang bereda di akhir masa karier (late-career athlete), maka penundaan bisa berakibat ia tidak bisa bertanding karena batasan usia, atau penundaan rencana pensiun. Dampaknya juga bisa berantai: penundaan untuk move-on ke aspek kehidupan lainnya seperti menempuh pendidikan, bekerja, berkeluarga dsb.

2. Terputusnya atlet dari rutinitas yang berkaitan dengan identitasnya

PSBB, lockdown, penundaan even data menganggu rutinitas atlet dari rutinitas yang selama ini membentuk identitas dan konsep dirinya, antara lain, berlatih setiap hari dengan rajin, bertanding/berkompetisi, berada di dalam tim yang ia senangi, berkiprah meraih juara, semua itu dapat pupus karena pandemi. Ini bukan hanya masalah kegiatan rutin yang terganggu, tapi berpotensi menggoncang identitas yang efeknya negatif pada kesehatan mental.

3. Isolasi, kesendirian, dan terputus dari social support dan leisure activities

Kondisi pandemi membuat asrama dan pemusatan latihan dipindah atau bahkan dibubarkan, dimana atlet mau tidak mau harus menyesuaikan dengan kondisi tersebut. Relokasi ini bisa membuât atlet terputus dari lingkungan familiar dan harus berjuang sendiri. Ini dapat menimbulkan rasa terasing, kesepian, terputus orang-orang yang memberikan support, dan menghilangkan kesempatan untuk rehat dari rutinitas.

4. Dampak finansial-sosial-ekonomi

Untuk atlet yang sepenuhnya menggantungkan finansialnya secara total pada uang saku dan bonus, pandemi ini bisa menimbulkan dampak ekonomi yang drastis. Efisiensi dapat terjadi dengan me-‘rumah’-kan atlet, pengkajian lagi terhadap rekrutmen dan seleksi, dan sebagainya, yang mengakibatkan sebagian pendapatan terputus. Ini dapat merembet ke relasi sosial dengan anggota keluarga, masyarakat, dan akhirnya ke kondisi psikologisnya.

Beberapa hal di atas adalah challenges yang dapat teridentifikasi, dan untuk mengatasinya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Level pemahaman haruslah dipahami oleh semua pihak, bahwa kesehatan mental, tetap harus diprioritaskan dengan tetap mempertimbangkan banyak faktor, mular dari faktor individu, relasi tim, kapabilitas organisasi hingga pemerintah. Untuk sedikit memberikan gambaran rekomendasi langkah apa yang bisa dipertimbangkan, saya mencoba menyarikan beberapa rekomendasi dari berbagai paper dan position stand yang telah saya baca.

Berikut ringkasan rekomendasi yang bisa dilakukan:

1. Validasi dan edukasi untuk kesehatan mental

Penting untuk menyadari, mengenali dan mengakui bagaimana pandemi ini berdampak pada anda sebagai atlet (atau pelatih); akui kegelisahan dan kecemasan tersebut, bahkan tidak selalu ‘merasa positif’ setiap waktu itu penting, karena artinya kita bersikap jujur bukan mengingkari kenyataan. Diskusikan secara terbuka hal ini, mulai dengan keluarga, orang tua, pelatih hingga pengurus.

2. Fokus pada apa yang bisa dikendalikan

Pandemi dan penundaan adalah sesuatu yang tida bisa kita kendalikan, maka fokus pada apa yang bisa dikendalikan; bagaimana kita berpikir dan menyikapinya. Pikiran, perasaan dan perilaku kita adalah sesuatu yang bisa kita tentukan secara bebas. Untuk atlet yang masih data bertanding, dapat berkomitmen dengan berlatih training-from-home, menjaga performa dan skill, dan mengisi waktu luang secara produktif adalah sesuatu yang dapat dikendalikan.

3. Mengunjungi kembali “hasrat berolahraga” dan kesabaran (passion and patience)

Kondisi lockdown menyediakan waktu untuk merenungi kembali makna olahraga dan menjadi atlet untuk anda, juga alasan-alasan murni apa saja yang membentuk diri anda, membentuk keberanian, kekuatan, ketanggguhan yang anda miliki hingga saat ini. Merasa gelisah dan cemas adalah sesuatu yang wajar, namun perlu disadari bahwa penundaan juga berarti perubahan program latihan dan menu; kesabaran menerima perubahan ini dan menyesuaikannya adalah sesuatu yang dapat dipelajari.

4. Tetap terhubung

Kondisi terisolasi, terasing, kesepian dapat disesuaikan dengan tetap berkomunikasi dengan pelatih, rekan tim, termasuk dengan keluarga atau kerabat melalui berbagai cara, semisal video call. Apabila memang terdapat masalah kecemasan yang suit diatasi, bantuan psikologis data dimanfaatkan secara jarak jauh melalui telepon.

5. Menginisiasi iklim positif yang terkolaborasi

Pelatih dan organisasi olahraga juga dapat membantu rutinitas tetap berjalan meskipun berada di rumah; pengecekan secara teratur, berkomunikasi, berdiskusi, dan melakukan berbagai cara agar interaksi tetap berjalan. Hargai setiap perkembangan sekecil apapun yang ditunjukkan oleh atlet. Menstimulasi kembali passion-and-patience (lihat point nomor 3), menginisiasi latihan yang terhubung secara kolaboratif (nomor 4),berkomunikasi dan berdiskusi secara terbuka, adalah beberapa hal yang dapat dilakukan.

6. Edukasi karier dan melihat berbagai kesempatan baru (untuk late-career athlete)

Untuk late-career athlete yang akan pensiun karena penundaan, perlu ada perhatian khusus dengan memberikan mitigasi, edukasi dan bahkan juga termasuk bimbingan psikologi. Perlu disadari bahwa karier olahraga bersifat singkat, dan pembatasan usia adalah sesuatu yang pasti dalam sebuah even. Namun demikian, penting untuk menghargai usaha yang telah dilakukan selama ini; yang tentunya, didasari oleh hal-hal yang baik. Mulailah mengidentifikasi potensi diri yang bisa dikembangkan dalam bidang lain, mulailah melihat kesempatan-kesempatan lain yang terbuka untuk dieksplorasi. Apabila anda memang telah mempersiapkan diri untuk itu, mulailah melakukan transisi identitas pensiun itu secara perlahan-lahan. Dari atlet menjadi pekerja, dari atlet menjadi wisraswata, dari atlet menjadi pelatih, guru, pns, peneliti, dsb. Yang perlu diingat, jangan meninggalkan profesi atlet begitu saja secara mendadak dengan kenangan buruk; setidaknya, lambaikan tangan dengan senyum dan kedewasaan, bahwa hidup memang ada irama naik dari tingkat ke tingkat, dan ada banyak hal baik lain menunggu anda di luar sana.

Untuk menutup seri pertama ini, ada satu hal lain yang perlu kita semua ingat. Athlete is a community, not commodity. Atlet adalah manusia, adalah sebuah komunitas, dan bukan komoditas. Penundaan Olimpiade, PON 2020, BPL, MotoGP, dan berbagai even olahraga bergengsi adalah berdasar pada prinsip ini juga. Dan kata sebagai pelaku pun, tidak boleh melanggar batas-batas health, safety and well being atas nama olahraga, dengan alasan apapun.

Di kala Olimpiade 2021 dan PON 2021 dapat dilaksanakan kembali di masa depan, perlu diingat, even itu akan menjadi sangat istimewa karena juga merayakan kemampuan diri kita menyesuaikan diri terhadap tantangan (seperti yang dikatakan oleh mas Ferry Hendarsin dalam tulisannya – sumber bisa dilihat di bawah). Mempertahankan bayangan positif bahwa kita bisa melewati semua ini, entah bagaimana caranya, adalah suatu perjuangan tersendiri, yang nilainya lebih besar dari sekedar medali dan gengsi, dan akan bergema melebihi lamanya kita berada di arena itu sendiri.

.
.
.

“Every day is different, and some days are better than others, but no matter how challenging the day, I get up and live it.” – Muhammad Ali.

.
.
.
.

Bahasan selanjutnya:
The Ownership of Goal (2)

.
.
.

sumber:

https://www.issponline.org/…/49-issp-corona-challenges-and-…

https://bjsm.bmj.com/…/early/2020/04/16/bjsports-2020-102433

https://journals.sagepub.com/d…/pdf/10.1177/1941738120918876

https://www.tandfonline.com/…/full/10…/1612197X.2020.1754616

https://www.tandfonline.com/…/10.1080/1612197X.2020.1746379…

https://www.instagram.com/p/B_Ut8UZhV_w/…

Dipublikasi di Artikel Kepelatihan Olahraga, psikologi olahraga | Tag , , , | Meninggalkan komentar

Stress dalam Olahraga (bagian 2): “Choking”

(Tulisan ini juga pernah dipublikasikan di medsos facebook pribadi saya pada tanggal 30 Desember 2017)ver fill 2017)

(For your information before proceed: saya menulis informasi ini dalam bahasa kasual nan receh memang ada maksud tertentu. Beberapa istilah bahasa Inggris tetap dipertahankan untuk menegaskan asal-muasal istilah)

“Choking” atau “Choke” bila diterjemahkan berarti “tercekik, terhambat, tersedak”. Choking berarti kondisi dimana atlet tidak mampu menunjukkan performanya secara maksimal, atau underperform. Beberapa literatur juga menyebutnya dengan istilah “yips” atau “performance slumps”. Salah satu kasus choking yang terkenal adalah dari dunia tenis di Final Wimbledon tahun 1993, antara Jana Novotna melawan Steffi Graf. Diawal permainan, Jana memimpin dengan bermain apik dan memimpin poin, namun ketika ia melakukan satu kesalahan di game ke-4, penampilannya memburuk secara drastis yang membuat Graff memimpin dan memenangkan dengan skor telak. Contoh lain, saat piala Champion 2008 antara Chelsea vs Manchester United, dimana John Terry gagal melakukan tendangan pinalti.

Fenomena choking, bila terjadi, jelas sangat merugikan. Choking juga berbeda dengan stress atau kecemasan, meskipun masih berkaitan erat. Stress dan cemas masih dapat diatasi melalui mekanisme coping (penyesuaian diri–sudah saya jelaskan sebelumnya). Namun “choking” ini apabila terjadi dalam pertadingan, maka sama sekali TIDAK BISA diatasi. Performa atlet berubah menjadi sangat buruk, terjun bebas, tidak seperti biasanya. Ibaratnya, saat stress atau cemas kita seolah berjalan di ketinggian, kita merasakan takut, namun kita tetap berjalan dengan hati-hati. Sedangkan pada “Choking”, kita sudah terpeleset, terjatuh terjun bebas ke bawah. Persiapan yang telah dilakukan selama berbulan-bulan sebelum bertanding menjadi sia-sia.

Fenomena “choke” ini sudah banyak diselidiki dalam bidang psikologi olahraga sejak tahun 80-an oleh Baumeister (1984). Sejak saat itu, ada berbagai penelitian dan model teori yang berusaha menjelaskan bagaimana Choking bisa terjadi pada atlet. Mekanisme terjadinya Choking pernah saya bahas di perkuliahan psikologi olahraga (kalau disini ada yang masih ingat, salah satunya adalah ‘catastrophe model’ dari Lew Hardy), namun penjelasannya sangat rumit sehingga tidak akan saya jelaskan di sini (mungkin kalau saya ada waktu boleh deh ditulis di sebuah buku terpisah…). Beberapa penelitian mulai memberikan titik cerah tentang mekanisme dan faktor-faktor yang berkaitan dengan choking, dan bagaimana tindakan untuk mencegahnya.

Pada umumnya, kondisi choking ini, bila sudah terjadi, dapat dikenali dengan mudah. Atlet bermain tidak sebaik biasanya, bahkan jauh dari penampilan prima. Di pencak silat, saya beberapa kali mendengar “Mainnya g*bl*g banget, kayak orang baru belajar silat”, padahal atlet ybs bukan atlet pemula. Jawaban yang umum diberikan ketika selesai pertandingan, biasanya “Kaki/tangan saya terasa berat mas,” atau “Nggak tahu mas, badanku kayak nggak mau gerak, gitu, nggak kayak biasanya!”. Dan terkadang mereka juga tidak bisa menjelaskan, mengapa mereka berperforma buruk. Nah lho. Artinya si atlet udah kena “choke”.

Sekali lagi, choking ini harus dicegah.
Karena bila itu terjadi dalam pertandingan, performa atlet tidak mungkin dikembalikan lagi ke kondisi semula. Apakah mungkin untuk mengejar nilai, meneruskan permainan, apabila choking sudah terjadi?

— Apa yang menimbulkan “choking”? —

Ada lembaran literatur berbahasa Inggris yang butuh waktu untuk dijelaskan satu persatu, tapi saya berusaha untuk menjelaskannya secara sederhana. Intinya, menurut penelitian-penelitian, ada berbagai faktor yang menyumbang terjadinya choking, antara lain:

1) Memory processing overload, atau terlalu banyak informasi yang masuk.

Kapasitas otak dalam mengolah informasi ada batasnya, dan dalam kondisi tertekan kemampuan mengolah informasi ini bisa menjadi tidak efisien. Sekedar contoh, pada gelanggang yang ramai, ada banyak sekali suara yang didengar oleh seorang atlet. Ditambah lagi, kalau para penonton ini juga berteriak agar atlet melakukan gerakan ini-itu, taktik anu-itu, yang akan membingungkan atlet. Ini akan membuat otak atlet overload dalam memproses informasi, yang kemudian menimbulkan choking.

Untuk mencegah hal ini, pelatih dapat memasukkan beberapa latihan: semisal, latihan yang diiringi gangguan/distraktor, semisal melakukan sparring dalam kondisi bising atau ditonton orang banyak. Latihan imajeri atau visualisasi dalam kondisi bising juga dapat dilakukan. Pendekatan multi-modal juga bisa dilakukan bekerjasama dengan psikolog olahraga, semisal latihan konsetrasi menatap satu titik, menghitung mundur, dan sebagainya.

Pada elite athlete yang memiliki konsentrasi tinggi, ia bisa meniminalkan distraksi itu. Semisal, ketika bermain, diantara suara ramai itu ia tetap bisa fokus pada instruksi pelatihnya dan pada permainannya, sehingga “choking” tidak sampai terjadi. Tapi, tentu saja untuk mencapai konsentrasi tinggi ini membutuhkan jam terbang dan latihan yang cukup.

Pelatih dan atlet juga harus menjalin kesepakatan bahwa dalam pertandingan, hanya instruksi pelatih saja yang harus ia perhatikan. Mengapa? Tentu untuk mencegah choking. Terlalu banyak overload informasi akan membuat atlet hilang fokus dan cemas berlebihan, yang justru menimbulkan choking. Pelatih juga sebaiknya mengembangkan pola komunikasi yang sederhana dan lugas di saat pertandingan. Gunakan istilah yang mudah dipahami oleh atlet. Dan yang paling penting: pelatih tidak boleh stress saat pertandingan (Eh… stress boleh, asal jangan sampai kelihatan di depan atletnya… ).

2) “Social Anxiety” atau kecemasan sosial

Social anxiety adalah kecemasan yang timbul karena keberadaan orang lain. “Orang lain” ini bisa bermacam-macam, mulai dari keberadaan seseorang hingga banyak orang. Semisal, kehadiran orang tua atau pacar, hingga penonton yang banyak di area. Ketika tensi pertandingan tinggi dan penonton sangat banyak, disiarkan di televisi secara luas, atlet bisa mengalami choking, apalagi kalau ia tidak pernah bertanding di kondisi penuh tekanan dan di depan orang banyak. Pada umumnya, hal ini terjadi pada atlet pemula yang jam terbangnya belum tinggi.

Bagaimana mencegahnya? Simulasi pertandingan atau tryout yang disaksikan oleh orang banyak bisa diatur untuk melatih atlet toleran terhadap social anxiety, terutama pada kategori penampilan seperti Tunggal Ganda dan Regu. Pelatih juga sebaiknya berbicara dengan atlet, apakah ia merasa nyaman bila bertanding ditonton orang tuanya atau tidak. Karena memang ada beberapa atlet yang malah menjadi sangat gugup bisa disaksikan orangtuanya (seperti saya, contohnya…!), pacarnya, suami/istrinya, mantan pacar, dsb.. dsb… pelatih dapat menjembatani untuk bernegoisasi agar mereka TIDAK hadir di pertandingan. Terutama, kalau si atlet tidak berani bilang…

Lalu, bagaimana bila pertandingan disaksikan oleh orang yang sangat penting..? Menteri, gubernur, presiden, ketua IPSI, ketua PERSILAT, misalnya…? Pelatih jelas nggak bisa menyuruh mereka untuk nggak datang dong, hehehe… tapi, yang bisa dilakukan adalah menempatkan atlet dalam kondisi dimana mereka bisa tetap berkonsentrasi penuh, tetap fokus dan tenang. Untuk itu, sebaiknya atlet yang akan bertanding ditempatkan di ruangan khusus untuk bertanding, agar mereka fokus penuh pada pertandingan.

3) Kesadaran diri, atau “self-consciousness” yang berlebihan

Kesadaran akan posisi diri sebagai atlet juga berpotensi menimbulkan choking. Penelitian menemukan kalau kesadaran diri yang tinggi seorang atlet justru berbanding lurus dengan resiko mengalami choking. Terlalu memperhatikan proses teknis penampilan, posisi dan tanggungjawab sebagai atlet, perenungan terhadap proses latihan yang dilakukan sebelum bertanding, kesadaran akan konsekuensi-konsekuensi yang terjadi apabila gagal, semuanya dapat mengarah ke choking.

Yang agak rumit, apabila kesadaran seorang atlet berhubungan dengan relasi sosial latihan dan posisinya sebagai atlet, biasanya pada elite level yaitu atlet daerah atau atlet nasional. Yang ironis, terkadang atlet-atlet dengan kesadaran tinggi adalah atlet-atlet yang juga berlatih paling keras dan menunjukkann perilaku baik dalam latihan. Mereka melaksanakan semua perintah pelatih dengan harapan “tidak ingin tampil jelek sehingga memalukan pelatih/keluarga/kota/ negara/bangsa/daerah”, yang justru menyumbang kecemasan yang jauh lebih tinggi dalam pertandingan. Choking jelas sangat rawan terjadi.

Pada atlet dengan kondisi di atas, penanganan yang lebih serius oleh psikolog olahraga harus dilakukan, terutama apabila kasusnya berulang-ulang terjadi. Karena biasanya hal ini sangat rumit, dan juga bisa berkaitan dengan pengalaman hidup, trauma, tekanan sosial, kondisi sosial ekonomi, dan sebagainya. Penanganan ini juga tidak bisa sekali-dua kali, namun harus secara rutin terjadwal.

Untuk meminimalisir hal ini, berbulan-bulan jauh sebelum pertandingan seorang atlet dapat mencoba mengenali smber kecemasannya sendiri. Ia harus mengenali dirinya sendiri hal-hal apa saja yang membuat ia terlalu overthinking, yang barangkali berasal dari paradigma yang salah. Berbicara dengan pelatih secara pribadi secara serius juga dapat dilakukan. Namun, pelatih juga harus bersikap bijak dengan TIDAK mengatakan “…jangan terlalu dipikirkan” karena hal itu menunjukkan pelatih kurang empatik dalam memahami atlet. Cobalah untuk memahami lebih dalam, bagaimana atlet memandang dirinya dan dunianya. Barangkali dari situlah, akan ditemukan cara untuk mengatasi kecemasannnya yang berlebihan.

Salah satu ironi dalam hal ini, dan sering sekali terjadi, pengurus atau pelatih menekankan awareness ini terus menerus. Sekedar contoh: “Kamu harus bermain baik, jangan memalukan negara dan bangsa,”, “kamu harus menang, jangan memalukan aku sebagai pelatihmu”, dengan maksud mengangkat motivasi atlet. Tidak selalu. pembicaraan semacam itu justru beresiko membuat atlet underperform. Tidak semua atlet bisa menerimanya.

Lalu bagaimana mengkomunikasikannya? ini gampang-gampang susah, karena prinsip individual berlaku. Salah satunya, pelatih dapat mengingatkan hal-hal positif yang dimiliki atlet yang bisa meningkatkan peluang untuk dia bermain baik. Semisal “… kamu sudah menunjukkan ketekunan selama ini, contohnya…”. Kepercayaan diri dibangun dari “bulding blocks”, dan pelatih dapat menjaga “building blocks” itu untuk menjadi dasar menuju penampilan maksimal.

4) Faktor-faktor lain yang menyebabkan choking:
choking juga rawan terjadi pada individu yang memiliki “trait anxiety”, atau orang dengan kepribadian yang mudah cemas. Trait anxiety ini hanya bisa dideteksi oleh psikolog klinis melalui serangkaian diagnosis psikologis yang cukup rumit. Apabila trait anxiety ini terdeteksi ada dalam kepribadian atlet, maka perlu ada pendekatan khusus. Namun, sejauh yang saya ketahui, saya belum pernah menemukan kasus atlet yang memiliki trait anxiety.

Faktor lainnya adalah kepercayaan diri yang rendah; rasa kekhawatiran atau ketakutan yang berlebihan akan mendapatkan perkataan jelek dari orang-orang (bisa juga erat berkaitan dengan social anxiety di atas); dan pemenuhan (atau paksaan) tugas yang tidak realistis, semisal keharusan untuk juara sementara atlet merasa dirinya belum mampu. Untuk mengatasi hal ini, mental training dengan fokus pada peningkatan kepercayaan diri bisa dilakukan, juga menetukan “goal setting” yang realistis melalui dialog terbuka antara atlet dengan pelatih.

Ada banyak antesenden lain yang mempengaruhi terjadinya choking, dan hal ini hingga sekarang masih menjadi perdebatan dalam psikologi olahraga, dan juga terus diselidiki melalui berbagai penelitian.

Mungkin satu prinsip yang dapat diingat oleh pelatih untuk mencegar terjadinya choking adalah: Apabila atlet tidak merasa tertekan, maka choking tidak akan terjadi.

Sumber:

Hill, Denise M., Hanton, Sheldon, Matthews, Nic and Fleming, Scott (2010) ‘Choking in sport: a review’,International Review of Sport and Exercise Psychology, 3: 1, 24 — 39

Marchant, D.H., Maher,R. & Wang, J (2014). Perspectives on Choking in Sport. Dalam Papaioannaou A.D. & Hackfort, D (eds.) Routledge Companion to Sport & Exercise Psychology. Oxon: Routledge.

Shaw, D., Gorely, T & Corban, R (2004). Instant Notes in Sport Psychology. Taylor & Francis.

(Dalam menulis ini, saya juga didukung oleh mas Agustian Noor (Agasa Ichigo), komikus yang telah berbaik hati menyumbang ilustrasi tentang choking di bawah. Dukung juga komiknya mas Agustian, “Hati Baja” di link berikut dengan subscribe, ya…! Reading his comic are a fun leisure for me as as pHD student)

https://www.ciayo.com/id/comic/hati-baja

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Mengenali Stress Dalam Olahraga

(juga dimuat di status Facebook saya, tanggal 28 Desember 2018)

Sekian waktu yang lalu saya berjanji untuk membahas tentang fenomena “Choking” atau underperform dalam olahraga. Namun saya mendapat masukan bahwa sebelum membahas “Choking” yang umum muncul di level elite athlete, saya sebaiknya membahas tentang stress dahulu. Berikut sedikit pembahasan ringkas tentang stress atau kecemasan dalam olahraga (peringatan: beberapa kalimat bisa bernuansa receh).

S6000098

Apa itu stress dalam Olahraga?

Stress adalah sebuah kondisi berkepanjangan akibat evaluasi/penilaian berkelanjutan antara harapan, pengalaman pribadi, dan tekanan yang dialami oleh seseorang. Para atlet, pelatih, dan siapapun yang terlibat dalam olahraga juga dapat mengalami stress karena keterlibatannya dalam olahraga.

Dalam olahraga, efek dari stress dapat dibagi dua, yaitu:
1) Efek kognitif: efeknya secara kognitif/pikiran, seperti: khawatir, kepikiran (sampai nggak bisa tidur), takut akan hasil yang buruk, dan juga kecemasan berlebihan (a.k.a: mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi).
2) Efek (psiko)somatis: efek yang terlihat dari segi fisiologi, semisal naiknya detak jantung, sakit perut, BAK berlebihan hingga diare, sulit tidur, gangguan nafas, badan gemetaran, atau kekakuan pada oto-otot.

Lalu apa yang menyebabkan stress? Stressor (istilah untuk sumber stress) dalam olahraga juga bisa dikelompokkan ke dalam dua hal:

1) Stressor kompetitif, yaitu penyebab stress yang berkaitan dengan kompetisi/perlombaan yang dialami atlet; pada umumnya berhubungan dengan penampilan, kemampuan, tafsiran (yang berlebihan) terhadap kemampuan lawan atau kemampuan diri sendiri, ekspektasi yang berlebihan, situasi pertandingan yang menimbulkan stress, dan sebagainya.

2) Stressor organisasional atau stressor situasional: yaitu stressor yang berkaitan dengan organisasi dimana atlet terlibat; antara lain: tekanan dari lingkungan sosial atlet, semisal dari keluarga/orang tua, tim pelatih/manajer/ofisial, pengurus atau organisasi olahraga, panitia pertandingan, komponen pendukung pertandingan (contoh: akomodasi/transportasi), sponsor, media, fans/supporter, dan sebagainya.

Meskipun stressor ini dikelompokkan menjadi dua, berbagai situasi dalam pertandingan bisa menyumbang kombinasi antara stress kompetitif dan organisasional. Interpretasi terhadap stressor ini juga sangat erat berkaitan dengan faktor-faktor personal dalam diri atlet, seperti kepribadian atlet, pengalaman hidup, gaya hidup, ketegaran mental/resiliensi, dan “coping style”, yang akan kita bahas beberapa paragraf kemudian.

S8000190

Penelitian juga menyebutkan, elite-athlete terpapar pada stressor organisasional daripada yang berkaitan dengan kompetisi. Sedangkan, pada beginner-athlete/pemula, stressor-nya lebih banyak bersifat kompetitif daripada organisasional. Secara naif, perbedaan stress pada beginner/pemula dengan pada bisa kita pahami seperti memanjat sebuah tebing yang tinggi. Atlet pemula bergulat dengan perasaan “Jangan takut sama ketinggian, aku harus percaya diri, yang penting usaha dulu manjat sampai atas, yak, aku akan semangat!” (pasang pose ala Rock Lee), sementara elite-athlete berjuang dengan “Hoooiii, aku memanjat semakin tinggi, ternyata anginnya semakin kencang nih, cuacanya berawan pula, kabut juga mulai muncul…!”

Lalu, bagaimana cara mengatasi stress pada atlet? Ada mekanisme penyesuaian diri yang disebut dengan “Coping”. Coping ini melibatkan strategi manajemen pikiran, emosi, dan perilaku untuk menurunkan efek merugikan dari stress. Bahkan, dapat meregulasi stress menjadi berefek positif bagi atlet. Karena, stress pada dasarnya menjadi sinyal tanda bahaya, sehingga atlet mampu lebih waspada, lebih berhati-hati dalam mengatur strategi dan perilakunya, dan mengambil antisipasi yang tepat. Syaratnya, atlet harus menguasai “coping” yang tepat. Coping ini juga ada beberapa macam:

1) Problem-focused coping: yaitu menganalisa penyebab masalah/stressor dan kemudian mengambil langkah-langkah untuk menganalisanya. Semisal, seorang atlet yang sering gelisah karena ditonton orang banyak, kemudian ia berdiskusi dengan psikolog olahraga untuk menganalisa masalahnya, dan melakukan beberapa latihan imajeri untuk mengeliminasi efek stressor penonton. Semisal, dia menerapkan latihan imajeri “penonton adalah botol, penonton adalah botol…” (note: anda bisa membuat latihan imajeri yang lebih baique).

2) Emotion-focus coping: yaitu mengatasi stress dengan mencari dukungan emosional yang suportif untuk menurunkan efek merugikan dari stress. Pada umumnya, dukungan emosional ini dapat berasal dari pelatih, pasangan, orangtua/keluarga, atau teman. Semisal, seorang atlet yang menelepon keluarganya untuk curhat akan tekanan-tekanan pertandingan yang dialaminya (Namun, tentu saja adalah sebuah keputusan yang sangat salah kalau mencari emotional support yang berpotensi menimbulkan stress lebih besar, semisal menelepon dia yang bukan milik anda… )

3) Avoidance coping: yaitu menarik diri dari penyebab stress, atau menghindari penyebab stress. Semisal, Siti, seorang atlet silat, mengetahui kalau penyebab stress-nya ketika bertanding adalah ditonton orang banyak, maka setiap ia bertanding, ia cenderung bersiap di tempat yang jauh dari keramaian dan berdiam diri. Mungkin banyak yang salah sangka mengira Siti takut dengan menyendiri jauh dari arena, tapi sesungguhnya itu adalah caranya untuk menenangkan diri.

CIMG3260

4) Distraction-oriented stimuli: Yaitu mengalihkan stressor ke kegiatan lain agar stressor tidak berkelanjutan menganggu persapan mentalnya; semisal, bermain game, ngopi, menonton film, mendengarkan musik, bercanda dengan pelatih dan sebagainya. Namun dalam mengguakan coping style ini, haruslah berhati-hati jangan sampai justru stimuli selingan itu malah berakibat buruk; semisal, bermain game sampai larut malam hingga paginya bangun tidak-bugar-dan-muncul-mata-panda.

Sekali lagi, perhatikan bahwa ada banyak faktor yang berkaitan dengan coping style ini, Seorang atlet, seiring dengan semakin banyak jam terbang bertandingnya, ia juga dapat secara mandiri mengembangkan lebih dari satu macam gaya coping. Selama tidak menganggu orang lain, dan menunjang performa prima, mengapa tidak…?

 

— Apa yang bisa dilakukan oleh pelatih? —

Yang dapat dilakukan pelatih antara lain adalah mengamati dan membimbing atlet untuk mengenali pola stress-nya sendiri untuk mengembangkan coping-style agar atlet toleran terhadap stress. Apa yang menjadi sumber kecemasan atlet. Ini bisa dilakukakan secara terstruktur dalam latihan, semisal menyuruh atlet memiliki catatan pribadi atau diary, selain juga melakukan pengamatan dan mencari informasi dari orang-orang terdekat atlet, seisal orang tuanya. Pelatih juga dapat mengajarkan PST (Psychological Skills Training) – istilah awam nan kerennya, “mental training” yang sederhana kepada atlet. Semisal relaksasi, positive self-talk, visualisasi, latihan imajeri, seiring dengan jalannya program latihan.

CIMG1456_net

Akan lebih baik bila proses PST ini bekerjasama dengan psikolog olahraga yang memahami karakteristik olahraga atlet yang bersangkutan, karena penyebab kecemasan pada setiap olahraga juga berbeda-beda. Psikolog olahraga kemudian akan melakukan “rekstrukturisasi kognitif” agar atlet lebih peka dalam mengenali stressor dan mengebangkan secara mandiri bagaimana mengatasinya secara independen. Namun, pendekatan ini harus terlebih dahulu megenali kerakteristik olahraga yang ditekuni atlet. Sekedar contoh, dalam olahraga silat saja, penyebab kecemasan atlet kategori tanding, tunggal, ganda dan beregu bisa sangat berbeda. Ditambah lagi, faktor personal dan psikososial atlet juga bisa mempengaruhi stress. Jadi, dalam emmahami stress, kita tidak bisa melakukan generalisasi alias “nggebyah uyah” pada semua individu dan semua cabang olahraga.

Hal lain yang dapat dilakukan pelatih adalah membuat suasana dan situasi senyaman mungkin bagi atlet. Suasana tim yang akrab, teratur, familiar, menenangkan, akan menunjang atlet untuk merasa aman, hingga stressor dapat diminimalisir, dan atlet akan lebih mudah utuk fokus. Termasuk dalam melakukan komunikasi pada atlet, berhati-hatilah jangan malah menimbulkan stressor yang berlebihan. Sekedar contoh, ada atlet yang hanya melihat pelatih saja, jantungnya sudah “mak tratap” (denyut nadi langsung naik), apalagi kalau diteriakin, di-goblok-goblokin, diumpat atau dimaki. Pressure sosial yang sangat tinggi juga bisa menimbulkan “choking”.

Kecemasan yang disertai pressure sosial yang kelewat tinggi ini dapat menyebabkan “choking”, yang akan kita bahas di thread selanjutnya. Choking adalah kondisi dimana atlet tidak mampu menunjukkan kemampuannya secara maksimal, atau ‘underperform’, berperforma di bawah kemampuannya yang sebenarnya. Hal yang sangat negatif dari “choking” adalah: apabila ia terjadi di saat bertanding, maka atlet tidak bisa pulih selama waktu bertanding itu. Maka itu, lebih baik mencegah terjadinya “choking” dengan mengembangkan coping anxiety yang membuat atlet toleran pada stress. Because once it happens, it happens.

Uraian di atas hanyalah uraian yang sangat disederhanakan mengenai stress, kecemasan dan “coping” dalam olahraga (aslinya pembahasannya bisa berlembar-lembar bisa ngga selesai satu semester, hahaha). Permasalahan yang dialami oleh atlet dan pelatih, saya mempercayai bisa jauh lebih rumit dari bahasan ini, namun semoga ini bisa sedikit membantu.

(bersambung ke bab “Choking”)

S8002020

Sumber:
Hanton, S.H & Mellalieu, S,D (2014). Coping with stress and anxiety. Dalam Papaioannaou A.D. & Hackfort, D (eds.) Routledge Companion to Sport & Exercise Psychology. Oxon: Routledge.
Hanton, S.H & Mellalieu, S,D (2006). Literature reviews in sport psychology. NY: Nova Science.

sumber foto: dokumen pribadi.
beberapa atlet yang saya berasumsi sedang melakukan “coping terhadap stress” dengan gayanya masing-masing.

(catatan: mohon semua foto disikapi dengan sangat bijak, antara lain, stress kangen masakan Indonesia ketika bertanding di luar negeri, tidak selalu ditebus dengan makan Indomie, terutama kalau berat badan limit atas… contohlah mas Achmad Sudirman yang ngemil makanan sehat plus ngeteh, atau mas Suhud Indratno yang memiliki catatan harian pribadi semasa ia menjadi atlet. Mas Heru Purnomo maaf saya pinjam fotonya ya)

Dipublikasi di Uncategorized | 1 Komentar

Part 1: Pendidikan Untuk Masa Depan, Prestasi Olahraga Untuk Membantu Masa Depan

Menurut saya, sudah waktunya berhenti untuk melakukan dikotomi “pilih sekolah atau ‘jadi atlet’?”. Itu bukan sebuah pertanyaan yang dijawab dengan ‘ya’ atau ‘tidak’.  Menurut saya personal, pertanyaan itu lebih bersifat menyudutkan para atlet yang berjibaku mengatur waktu dan energinya, antara usaha meraih prestasi dan mempersiapkan masa depannya sendiri. Pendidikan adalah hak semua orang, termasuk para atlet yang mencurahkan sebagian besar waktu dan energinya untuk berlatih. Sebaiknya semua orang memahami kalau… ‘latihan’ yang dilakukan para atlet bukanlan sebuah aktivitas fisik yang bersifat refreshing, menyegarkan, yang biasa kita pahami sebagai orang awam. Mereka dituntut untuk berlatih dengan intensitas tinggi yang tersistem secara teratur, rutin, hingga limit. Jadi, menurut saya apa yang mereka curahkan demi prestasi perlu dihormati.

Berhenti Melakukan Dikotomi dengan bertanya “pilih sekolah atau latihan?”

Jadi, sebaiknya perlu ada pengkajian lebih lanjut akan pertanyaan “Kamu mau sekolah atau latihan?”. Daripada menghadapkan mereka pada pillihan hitam-putih, mengapa tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk menjalani keduanya? Mengapa tidak memberikan pertanyaan “Baiklah… kalau begitu bagaimana agar kamu bisa tetap sekolah dan berlatih?”. Dialog ini perlu dilakukan dengan kesediaan untuk mendengar dan memahami. Para atlet itu tidaklah meminta keistimewaan, perlakukan yang berbeda itu memang perlu adanya, hampir-hampir sebagai sebuah kewajaran, bahkan hak. Bukankah banyak tersedia alternatif seperti online learning, blended learning, bahkan pembimbingan khusus? Kalau penyadang disabilitas saja berhak mendapat perlakukan khusus, mengapa para atlet tidak?

 

My position stand: I want to be still with the athletes

Tulisan ini hanya dibuat untuk melampiaskan keliaran pikiran saya saja, di sela-sela pengerjaan tugas disertasi yang terus menerus membuat saya terjaga dan tak nyaman. Tapi, inilah yang ingin saya lakukan. Pendidikan itu penting untuk para atlet. Berdasarkan penelitian yang saya lakukan, jangan mempertanyakan ketangguhan mental mereka atau motivasi mereka; menjadi atlet di Indonesia dengan sistem keolahragaannya yang masih dalam kondisi penataan manajemen, adalah sebuah pilihan beresiko. Pilihan beresiko. Sekedar contoh, berapa banyak remaja yang menekuni pencak silat, bnerapa banyak yang mengikuti pertandingan, sementara gelar juara hanya dapat diraih oleh satu-dua orang saja? Sementara untuk meraih gelar juara itu, hanya untuk mengikuti pertandingan itu, berapa banyak waktu, energi, biaya yang telah dicurahkan?

Proses mengambil keputusan-keputusan antara berlatih atau tidak, juga tidaklah mudah. Ada analisis untung-rugi, prioritas, bahkan juga pertaruhan dan pengaruh kondisi finansial diri pribadi dan keluarga. Karena itu mereka berhak untuk mendapatkan bekal untuk masa depan. Pendidikan.

Saya pernah membicarakan ini di saat tahun 2013 dalam situasi informal, briefing akhir setelah POMNAS 2013 di depan tim pencak silat Jawa Timur, para mahasiswa yang telah berjuang habis-habisan di event tersebut. Saya ingat pernah mengatakan:

“Pendidikan itu untuk masa depan. Pencak silat untuk mempermudah masa depan.”

Sebenarnya sama dengan semua cabang olahraga. Proses menjadi atlet tidak mudah, namun dalam proses itu ada kualitas-kualitas yang bisa didapatkan. Itulah capital, modal untuk meraih sukses di masa depan.

Jadi, pendidikan dan prestasi olahraga, harus bisa berjalan beriringan. Para atlet mungkin akan menjalaninya lebih lambat atau memiliki jalur yang berbeda dengan mahasiswa reguler; seperti saya, yang lulus kuliah S1 selama 5.5 tahun. Namun, menempuh pendidikan hingga lulus juga merupakan hak mereka.

 

Saya atlet, apa yang harus saya lakukan agar baik prestasi maupun pendidikan sama-sama berjalan? 

Lalu, apabila saya atlet, apa yang harus saya lakukan? Bagaimana agak prestasi saya tetap konsisten, sementara pendidikan saya juga berjalan?

Beberapa tips di bawah saya dapatkan berdasarkan pengalaman. Pengalaman ini termasuk membaca beberapa buku pengembangan diri yang tebal-tebal… yang beberapa saya coba terapkan secara trial-and-error. Mohon maaf karena saat SMA saya belum berstatus elite athlete, saran yang saya berikan masih terbatas seputar pendidikan di universitas. Dengan kata lain, saran ini lebih tepat untuk kalian yang berstatus atlet-mahasiswa.

  1. Pahami bahwa ‘jalan’ anda berbeda dengan teman-teman anda

Yang pertama harus dipahami adalah apa yang anda lalui selama perkuliahan akan berbeda dengan teman-teman anda. Mungkin anda terpaksa mengambil mata kuliah dengan jadwal berbeda, mengambil mata kuliah lebih sedikit, berjumpa dengan teman-teman lebih jarang (karena harus latihan di camp dan bertanding), atau bahkan lulus molor… tapi itu memang sebuah kewajaran karena memang kegiatan anda juga beda dengan mereka. Anda harus mengatur jadwal perkuliahan agar sesuai dengan ritme jadwal latihan, istirahat, dan juga pertandingan. Jadi… ada kalanya anda harus melakukan hal yang berbeda dengan yang lain. Jangan ragu untuk berkonsultasi kepada orang tua, pelatih, senior, atau pembimbing akademik bila anda merasa bimbang. Tentulah mereka bisa memberikan pandangan.

Resikonya, memang ada rasa kesepian dan kelelahan ketika terpaksa menjalaninya sendiri. Namun, kurasa itu layak, karena segala fasilitas yang anda nikmati sebagai atlet, juga kepuasan naik podium atau diberi ucapan selamat orang semua orang, adalah bayarannya.

2. Membuat prioritas kegiatan yang terjadwal

Kuliah dan latihan, pendidikan dan prestasi… keduanya memang penting. Tapi, keduanya juga bisa menguras tenaga dan pikiran anda sebagai seorang atlet mahasiswa. Dan akan ada masa-masa dimana anda menghadapi dilema.. UAS yang dilaksanakan berbarengan dengan pertandingan, semisal… dimana mau tidak mau, anda harus memilih salah satu.

Menata prioritas ini bukan berarti anda haru ‘mengutamakan salah satu diatas yang lain’. Tapi, yang dimaksudkan menata prioritas di sini adalah anda “bergerak lincah dari satu kegiatan ke kegiatan lain”. Prioritaskan semua yang harus anda lakukan berdasarkan tingkat urgensi atau ‘kemendesakan’-nya. Lebih mendesak yang mana? Lebih bisa dinegoisasikan yang mana? Ada alternatif lain? Lebih banyak tersedia alternatif yang mana?

Sekedar ilustrasi, Atlet A menemukan bahwa pertandingan bersamaan berjalan dengan jadwal UAS (Ujian Akhir Semester). Maka, yang perlu dilakukan di sana:

  • bagaimana tingkat ‘kemendesakan’nya? pertandingan atau UAS?  Tanyakan pada diri sendiri… apakah pertandingan ini menentukan karirku di masa depan, semisal… menentukan lolos tidaknya aku masuk skuad nasional, ranking, atau hanya even ujicoba saja? Apakah ujian ini adalah mata kuliah yang semisal aku gagal, masih bisa remedial atau mengulang? Atau menentukan kelulusanku berikutnya (semisal, matakuliah prasayarat)?
  • mana yang bisa dinegoisasikan? UAS atau pertandingan? Tanyakan pada diri sendiri juga… mana yang bisa dinegoisasikan untuk dirubah waktunya? Apakah UAS bisa diundur? Apakah bisa diganti menjadi sebuah tugas? Apakah dosennya bisa dinegoisasi untuk meminta pengajuan atau pengunduran? Pegalaman saya, masalah ujian selalu bisa dinegoisasikan asal atlet meluangkan waktu untuk benar-benar mengurusnya. Semuanya memungkinkan terjadi melalui komunikasi yang baik.

Jangan ragu untuk meminta pertimbangan atau pandangan dari orang lain perkara hal tersebut. Mereka bisa memberikan sedikit ‘ pencerahan’ supaya sebagai atlet anda tidak menghabiskan waktu galau terlalu lama.

sejauh ini, itu dahulu yang bisa saya sampaikan. Sebenarnya masih banyak ide berkelindan dalam kepala, namun bisa kita sambung lain kali…

(bersambung ke part 2)education-most-pwerful-weapon)

 

 

Dipublikasi di beasiswa, jurnal kur, kisah inspiratif, psikologi olahraga | Meninggalkan komentar

Perenungan Dalam Membuat Statement of Purpose: Who am I, What I do, What Will I Do, Then What…?

Masih dalam rangka hype pembukaan beasiswa LPDP untuk tahun 2018, saya pingin memberikan sedikt pendekatan berbeda untuk membuat Statement of Purpose. Apa itu Statement of Purpose? Dalam definisi saya yang lagi males nge-blog pakai bahasa formal nan ilmiah karena udah mulai pusing melekin data .  , statement of purpose adalah esai yang wajib untuk dibuat seorang pelamar beasiswa atau calon mahasiswa Magister atau Doktoral untuk mendaftar kuliah. Pada intinya, esai Statement itu menyatakan siapa anda, tujuan anda kuliah, mengapa anda memilih universitas/beasiswa itu, dan kalau sudah lulus, kontribusi apa yang ingin anda berikan nanti, atau practical applications yang bakalan anda lakukan setelah menyelesaikan pendidikan. Tidak ada aturan baku bagaiamana menulis statement of purpose, bahkan tiap universitas memberikan persyaratan yang berbeda-beda. Hanya saja, IMHO, ibarat menjawab pertanyaan, statement of purpose ini adalah semacam media untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh penyedia beasiswa atau universitas:

“Eh, elo siapa? Terus ngapain kuliah/melamar beasiswa ini? Terus kalau diterima, mau ngapain? Terus kalau elo lulus, mau ngapain juga nantinya?”

… tapi dengan bahasa yang super formal.

Got it?

(Astagfirullah hal adzim, jangan dibawa ke dalam hati ya pak, bu… beginilah kalau sedeng saya lagi rada kumat).

Tapi, pada intinya, statement of purpose memang berisi komponen berikut:

  1. Menceritakan siapa diri anda: pendidikan, kemampuan, pengalaman, sedikit latar belakang, motivasi probadi, minat, bakat, prestasi, pencapaian, passion, kepedulian, atau bahkan juga bisa termasuk kegalauan atau kegelisahan anda akan suatu fenomena (yang tentu saja harus dilengkapi data valid, semisal: angka statistik kemiskinan) dan sebagainya.
  2. Alasan mengapa anda memilih melamar beasiswa atau perguruan tinggi yang dituju: keunggulannya, ahlinya, keunikannya, keistimewaannya, rankingnya, prestasinya, fasilitasnya, dan sebagainya… pastikan anda sudah mempelajari dan ini juga sesuai dengan kemampuan anda. Yang paling penting: kesesuaian antara siapa anda (poin nomor 1 di atas) haruslah selaras dengan alasan mengapa anda memilih peruruan tinggi/beasiswa tersebut. Berikut misalnya contohnya: “…. karena saya memiliki keinginan yang tinggi untuk mempelajari hama wereng, maka saya melamar di universitas ini yang terkenal memiliki laboratorium mandiri Wereng yang terkenal di Asia Tenggara…” semacam itulah.
  3.  Rencana yang anda lakukan bila diterima: bisa berkaitan dengan riset yang ingin anda lakukan, penelitian, kuliah atau modul, publikasi, pengabdian masyarakat, praktek, internship, kerjasama riset, kolaborasi, dan sebagainya. Pada intinya menunjukkan kalau kita sudah punya rencana jelas ingin melakukan apa nantinya di situ.
  4. Rencana anda setelah lulus: tentu saja jangan ngomong “…kalau saya lulus sekolah nanti, saya akan…”, tapi secara elegan, tuliskanlah rencana apa yang ingin anda lakukan setelah selesai menempuh pendidikan dari institusi itu. Bisa berkaitan dengan karier masa depan, atau kontribusi terhadap negeri, atau rencana besar yang ingin anda lakukan. Yang penting, jangan selfish, tapi yakinkan kalau memang tujuan studi anda adalah untuk kepentingan khalayak banyak.

bagaimana menuliskan kelimanya diatas dalam sebuah esai yang dibatasi jumlah kata? Hanya satu yang saya bisa sarankan…

Merenunglah.

Kita ini siapa? Benarkah kita ingin dan perlu bahkan butuh untuk melamar ke tempat itu? Bila jawabannya ya, mengapa? Di sana sebenarnya ada apa? Lalu kalau diterima, apa yang akan kita lakukan? Klau sudah lulus, apa yang ingin kita lakukan setelahnya? 

perenungan ini bisa merembet ke perenungan filosofis… yang barangkali memang kita sedikit membuthkannya dalam hidup.

Apakah yang sebenarnya sedang aku kejar?

Yang jelas, menulis statement of purpose tidak bisa mendadak. Bukan hanya sekedar menata bahasa atau memutar otak, tapi juga melihat keselarasan antara keempat poin di atas…

selamat merenung.

;

;

;

;

note: ditulis dengan sedikit pendekatan beda; mohon maaf bagi yang kecewa. Kalau anda menginginkan sesuatu yang sifatnya teknis dalam menulis statement of purpose, you will not get it here.

Jalan menuju scholarship (London_Marathon_1392512c)

Dipublikasi di beasiswa, Uncategorized | 2 Komentar

Kamu Olahragawan, dan Mau Melamar Beasiswa LPDP…?

Tahun ini pendaftaran beasiswa LPDP telah dibuka, dan kabar gembiranya, beasiswa Afirmasi juga masih membuka kesempatan bagi para olahragawan berprestasi nasional/internasional untuk melamar beasiswa sekolah baik dalam negeri (DN) maupun luar negeri (LN). Sesuai janji, saya bakalan membocorkan tips bagi khusus kalian para olahragawan, terutama mantan atlet, untuk melamar beasiswa ini. Link untuk beasiswa afirmasi LPDP bisa di-google dengan keyword ‘beasiswa LPDP Afirmasi olahragawan’ atau link berikut:

https://www.lpdp.kemenkeu.go.id/beasiswa-afirmasi/

Sekedar fakta: beasiswa saya juga dari beasiswa afirmasi olahragawan prestasi nasional. Meskipun belum pernah ngicipin SEA GAMES, tapi piagam-piagam kejuaraan yang saya sertakan berhasil mengantarkan saya mendapat beasiswa di University of Birmingham – Inggris (Jadi sepertinya karena dulu udah lelah ditolakin terus di beasiswa khusus D**en, saya nyoba beasiswa ini dan malah gol… alhamdulillah, mungkin jalannya memang disini, hehehe). Olahraga yang saya tekuni? Coba browse sedikit deh nanti kan tahu sendiri, hehehe.

Jadi, ini tips-nya:

 

Pertama, pelajari baik-baik persyaratan beasiswa-nya. 

Saya tipe yang susah ingat, jadi biasanya saya catat ulang di buku notes kecil, persyaratan apa saja yang penting yang harus dipersiapkan. Maaf kalau tips pertama ini membuat anda kecewa, hehehe… tapi ya yang namanya mau kuliah pasca ya enggak boleh males mempelajari dan memahami sesuatu kan ya. Mempersiapkan persyaratan yang diminta juga wajib hukumnya.  Kalaupun ada persyaratan yang belum jelas, bisa menghubungi CSO LPDP atau email.

 

Kedua, kalau kamu atlet, jangan malu-malu menuliskannya di esai.

Saya sering berpikir kalau para atlet itu adalah orang-orang yang bangga dengan apa yang mereka lakukan. Passion, hidup, aktivitas, komunitas seorang atlet itu nggak jauh dari olahraga. Apalagi mereka yang berhasil menembus tingkat nasional hingga internasional, rasanya untuk masalah motivasi diri, ketangguhan mental, kalian sudah punya modal deh. Hanya tinggal bagaimana menerjemahkan itu di dalam ‘niat menuntut ilmu’. Nah, jangan lupa masukkan passion anda sebagai atlet/olahragawan itu juga ke dalam esai yang disyaratkan LPDP. Apa yang sebaiknya dimasukkan? Ya bisa jadi hal-hal berikut ini:

  • prestasi: bisa prestasi tertinggi, atau prestasi paling berkesan
  • pengalaman personal daam olahraga yang berharga yang sekiranya ‘menyentuh’, memacu/memotivasi anda, atau ‘inspiratif’ untuk membuat anda ingin menuntut ilmu lebih tinggi.
  • soft skill, life skill, nilai-nilai yang didapat dari pengalaman terlibat dalam olahraga/menjadi atlet, dan bagaimana pengalaman itu bisa menjadi modal buat berkontribusi pada bangsa.
  • potensi olahraga yang menurut anda masih belum dikembangkan atau luput dari perhatian
  • dll…

(Ya mungkin tidak semua paragraf isinya melulu tentang prestasi olahraga atau rencana anda berkontribusi di olahraga, sewajarnya saja. Barangkali anda juga mau bercerita hal lain ya monggo saja… asal perhatikan jumlah kalimatnya yaaa..).

 

Ketiga, isi kolom prestasi selengkap mungkin (kalau kepenuhan ya bisa dibatasi yang tertinggi saja)

Waktu mengisi kolom prestasi dulu, saya sempat merasa ‘waduh, malu ah, masa semuanya kudu diisi, nih?‘ sambil melirik piagam kejuaraan yang menumpuk satu map besar. Tapi akhirnya… ‘ah, bodo amat, aku isi aja apa adanya!’. Akhirnya, memang tidak semua kolom prestasi saya isi sih, hanya yang tertinggi saja, di tingkat nasional dan internasional saja. Untung saja saya cukup rajin mengumpulkan semua piagam kejuaraan dalam satu map plastik, sehingga nggak kesusahan mengumpulkannya. Oh ya, sebaiknya, isilah kolom prestasi secara kronologis berdasarkan waktu, supaya tim peneliti berkas LPDP gampang mendatanya.

Intinya, untuk tips ini: jangan malu-malu, jangan rendah diri untuk mengisi kolom prestasi di pendaftaran. Beritahukan pada dunia kalau kamu itu atlet, olahragawan, pernah menjuarai even ini dan itu…!

 

Keempat, scan semua piagam kejuaraan biar nggak dikira cuma ngomong doang… 

Selain mengisi semua kolom prestasi, saya juga men-scan semua piagam kejuaraan itu dengan urutan sesuai yang saya isi di kolom prestasi… alias saya scan secara kronologis. Karena jumlahnya cukup banyak sementara ada kuota maksimal untuk file yang di-upload, saya banyak menggunakan program pdf compress dan pdf merger untuk menggabungkan dan menurunkan ukuran file-nya. Yang penting harus masuk semua buktinya!

 

Kelima, atur waktu latihan… eh, mempersiapkan berkas…!

Masalah mengatur jadwal latihan dengn kuliah, makan, minum, main, jalan sama do’i, dan juga pertandingan, kalian para atlet sudah hapal bagaimana caranya lah ya. Nah, untuk mengisi formulir da mempersiapkan berkas LPDP ini kalian juga harus mempersiapkan dari jauh-jauh hari! Jangan mendadak! Kan kalian tahu kalau latihan mendadak nggak bakalan baik hasilnya, sama juga dengan mendaftar beasiswa! Dan jangan ikut golongan sistem-kebut-semalam deh… kalau bisa bahkan aturlah kalian bisa mengupload semua berkas pendaftaran H-6 atau bahkan lebih awal. Seingat saya dulu, saya meng-uploadnya bahkan sekitar 3 minggu sebelum penutupan pendaftaran. Klau bisa daftarnya nggak keroyokan, kenapa nggak, ya? Hahaha

 

Keenam, berdoa… dan juga cari alternatif beasiswa lain. 

Kalau niat memang adalah menuntut ilmu, maka sebaiknya jangan hanya membatasi hanya melamar beasiswa LPDP saja, tapi carilah informasi beasiswa lainnya, semisal beasiswa Kemenpora, Chevening, AAS, dan lain sebagainya. Selain itu, berdoalah agar semuanya dilancarkan dan dimudahkan…. persis seperti kamu berdoa ketika akan turun bertandinga. Klau anda sudah bekerja, jangan lupa juga memberitahukan pihak atasan secara baik-baik. Termasuk yang sudah berkeluarga, bicarakan kepada mereka tentang rencana anda melamar beasiswa untuk sekolah lagi.

selamat mencoba, rekan-rekan olahragawan…!

Pendidikan memang bekal masa depan, prestasi olahraga, untuk membantu meraih masa depan..!

(sengaja ditulis dalam bahasa gaul supaya nggak gampang di-copas)

14368739_10207257357137354_6498354595918816972_n

 

Dipublikasi di beasiswa | Tag , , | Meninggalkan komentar

Perjalananku meraih beasiswa part 8 – persiapan yang harus dilakukan

Hanya posting status FB tanggal 27 Juni 2017. BTW, sekarang saya udah dapat beasiswa PhD dari LPDP untuk sekolah di SPORTEXR university of Birmingkam – UK dan sudah masuk tahun ke-2. Ya Allah… lancarkanlah… Amiiin

.

.

because sharing is caring

.

.

.

Untuk dicatat dulu di sini supaya ingat..

Jadi, kalau pendidikan S1 dan S2-nya dalam negeri, untuk mendapatkan beasiswa S3 ke luar negeri cukup sulit. Sejauh ini, usaha awal yang bisa dilakukan:

1. Identifikasi minat penelitian/keahlian dulu. Karena untuk mencari supervisor, kita harus benar2 ngerti bidang penelitian kita, dan ini amatlah sangat spesifik. Semisal, di kasus saya dulu, tidak cukup kalau cuma cari supervisor yang ahli “psikologi olahraga”. Too general, man. Harus mengerucut dan mendalam. Saya sendiri akhirnya memilih slice antara “mental toughness” dan “cultural sport psychology”.

2. Minat spesifik ini akhirnya akan menentukan bakalan seperti apa proposal penelitian kita. 
Step kedua barulah bikin proposal penelitian, jangan berpikir seperti proposal di Indonesia yg berlembar2 itu, ya. Buat saja dalam 2 lembar, berikut abstrak (tidak termasuk referensi). 
Susah cari bahannya? Minta jurnal2 terkait lewat researchgate.net

3. Siapkan CV akademik dalam bahasa Inggris juga. Kalau jam terbang penelitian, pengmas, presentasi ikut conference dan menulis artikel sudah banyak, minimal you can be proud of your CV lah…

Btw, buat nambah2 kelayakan CV ini, konon saya juga ikut konferensi & macam2 pelatihan dimana2, using my own pocket money.

4. Pakai minat spesifik di nomor 1 dan 2, mulai bikin list profesor2 seluruh dunia yang ahli di bidang itu. Mulai kirim lamaran email ke mereka satu per satu. Btw, sikap keukeuh “harus sekolah di negara anu” jangan terlalu dipakai. Gantinya, lihat ranking dunia untuk school/jurusan bidang itu. Referensinya bisa pakai Shanghai ARWU, THQES, topuniversities.com atau kalau di UK, pakai RAE (Research Assesment Exercise). Btw ke-2, mengirim emailnya pakai prinsip “you and I”, lebih banyak menulis tentang “siapa” yang dikirimin, jangan terlalu banyak nulis tentang “aku” ini siapa..

Btw ke-3: proses ini bisa berbulan-bulan, dan siaplah dengan rasa pahit manis ditolak.
Btw ke-4: kalau ada, gunakan email akademik, lebih assure.

5. Kalau udah ada potential supervisor (alias ada yang menerima, mau menjadi supervisor anda), mulai browsing persyaratan pendaftarannya. Penuhi persyaratan pendaftaran dan tunggulah sampai universitas mengeluarkan LoA (Letter of Acceptance) turun. Supaya safe, pastikan saat menghubungi supervisor dan univ, kalian sudah memenuhi minimal IELTS 6.5 atau TOEFL IBT. Nah disini, buat memastikan LoA cepet turun, kita juga bisa minta bantuan agen. Meskipun sebenarnya juga bisa dilakukan sendiri.
Btw, proses ini juga bisa berbulan-bulan. Rajin cek email aja ya

6. Kalau LoA sudah turun tetap lanjutkan komunikasi dengan supervisor dan kampus target, sambil melamar beasiswa.

Begitulah perjalanan mau sekolah ke luar negeri pakai beasiswa. Nggak ada yang instan… kecuali kopi instan dan mie cup. Hehehe.

Note: semua langkah diatas, nomor 1 – 4 bisa sambil dilakukan sambil mengusahakan mendapat IELTS 6.5, jadi ada proses perjuangan prasyarat yang cukup lama juga sebelum apply LoA. Saya 2x tes IELTS, yg pertama dibayarin pemerintah, yang kedua pakai my own pocket money tho. Same thing applies when I tried GRE, dibelain utang dulu sampai bonus turun. Pesannya, jangan takut keluarin modal dulu buat uber beasiswa.

*ditulis dalam rangka flashback dan agak comfortly nervous krn sebentar lagi udah lewat tahun 1 kuliah.

 

.

.

.

 

selamat berjuang ya, para scholarship hunter…!

Dipublikasi di beasiswa | Meninggalkan komentar

Perjalananku meraih beasiswa – part 7 : Terus, bagaimana sih bikin caranya bikin proposal PhD?

Niscaya, saya aja juga dulu heran. Ternyata proposal PhD paling banyak cukup 2 lembar (tidak termasuk referensi).

Waktu beruntung dapat kesempatan pelatihan bahasa Inggris DIKTI di tahun 2012, mulailah saya belajar step-stepnya persiapan kuliah. Mulai dari cara bikin essay bahaha Inggris, bikin proposal, menghubungi calon supervisor dan sebagainya.

Jujur agak sulit sih. Karena S1 dan S2 saya kan dalam negeri, kita nggak biasa punya proposal sebelum masuk kuliah. Sementara, kalau ingin kuliah S3 di Luar Negeri, pertama-tama kita harus punya proposal, kualifikasi bahasa Inggris, lalu supervisor yang bersedia membimbing. Setelah itu baru bisa mendaftar secara resmi ke kampus tsb, melengkapi persyaratannya, dan menunggu mereka (biasanya bagian admission kampus) menerbitkan LoA (Letter of Acceptance). LoA ini pun ada yang conditional dan unconditional. Nah, yang laku diterima oleh sponsor beasiswa (BUDI, DIKTI, atau LPDP) adalah LoA yang suah unconditional. Alias, kita sudah dianggap memenuhi persyaratan untuk kuliah di kampus tersebut.

Oke, balik ke proposal.

pernah saya nyetatus di FB, tentang saran membuat proposal PhD. Ini statusnya:

.

.

sedikit tips buat kalian yang lagi bingung bikin proposal penelitian buat PhD.

kalau baca artikel atau systematic review, selalu perhatian bagian paling belakang di “discussion” atau “conclusion”. Disana biasanya ada kesimpulan dan further recommendations. Di “further recommendations” itulah gap-gap knowledge tersedia, yang bisa digunakan untuk tema penelitian.

Karena penelitian itu layak dilakukan kalau kita enggak tahu jawabannya….

*sedangpuyeng

.

.

Intinya itu, yang digaris bawahi.

Proposal level PhD haruslah original dan menyumbang sesuatu yang baru bagi ilmu pengetahuan. Artinya, kalau sudah pernah diteliti dan bisa diraba jawabannya, maka itu kurang layak sebagai proposal untuk sekolah PhD. Mengapa? Karena menurut saya, PhD adalah sebuah perjalanan ilmiah, scientific exploration. Artinya, kita benar-benar menjelajah ranah ilmu yang baru, yang belum diketahui, belum dijelajahi orang lain. Kita menyelidiki fenomena yang luput dari perhatian, atau yang masih sangat sedikit dibahas.

Jangan kaget kalau ternyata “sesuatu” atau “fenomena” yang masih sangat sedikit dibahas itu bisa jadi sesuatu yang luput dari perhatian kita!

Percaya nggak, ada lho skripsi PhD yang menyelidiki tentang apa yang mempengaruhi seseorang memutuskan naik tangga berjalan/eskalator atau tangga biasa”.

ada lho yang membahas tentang “pola penamaan nama panggilan pada etnis suku tertentu”

lalu “pola bahasa yang digunakan pada masyarakat populasi tertentu”

…. atau yang lagi saya kerjain sekarang tentang psikologi olahraga yang menyesuaikan karakteristik lokal budaya Indonesia.

Maslaahnya, untuk mengetahui dimana gap-gap itu tersedia, atau masalah apa yag belum pernah diselidiki, kita harus banyak membaca. Kan supaya tahu celahnya dimana, kita kan harus banyak membaca? Terutama jurnal-jurnal berbahasa Inggris.

Nah, status saya sebenarnya menyarankan sesuatu yang lebih efisien. Selain membaca jurnal-jurnal, cobalah pantengin lebih lama di bagian “discussion” atau “further recommendations”. Di sana pasti ada keterbatasan penelitian tersebut, yangartinya, enelitian tersebut baru sampai di ranah tertentu dan belum membahasa ke ranah yang lain. Lalu, biasanya ada berbagai pembahasan tentang hasil temuan sebelumnya yang berkaitan dengan fenomena tersebut. Nah disini kita bisa memetakan, celahnya dimana sih? Bahkan, kadang “dicussion” berisi tinjauan hasil penelitian dari makalah atau ilmu lain (bisa jadi multidisipliner atau lintas disiplin), yang artinya, “sesuatu fenomena” itu juga ada nyambung dengan ilmu atau teori lain yang mungkin belum terlalu banyak dibahas, atau diteliti benang merahnya.

Kalau bagian “further recomendations”, itu artinya si penulis jurnal menyarankan agar di masa depan sebaiknya ada penelitian tentang ini itu anu yang berhubungan degan penelitian tersebut, alias dia ngasih saran “sebaiknya perlu ada penelitian tentang x yang menggunakan metode Y di wilayah Z”.

Buat meleakan, aspek “kebaruan” sebuah proposal itu tidak harus dari segi substansi masalahnya saja (atau fenomenanya), tapi bisa jadi, dari segi metodenya atau setting penelitian yang dilakukan. Untuk yang terakhir itu, “setting”…. disitulah sebenarnya terbuka banyak peluang, saudara-saudara! Karena Indoensia itu unik dan sebenarnya menjadi setting yang sangat menarik untuk berbagai penelitian !!! Why not dig our own country gems in terms of research?!

Lalu, buat proposal itu dalam dua halaman saja. Jangan seperti proposal ***** yang berlembar-lembar, ya. Saya dulu hanya buat 2 lembar A4 dengan satu spasi. Dengan urutan judul, abstract, keyword, background of study, research aim/question/objectives, methodology and research participants, significance, dan research schedule. Di lembar ketiga dan keempat baru references.

Proosal sedemikian tidak bisa diselesaikan dengan cepat ya teman-teman. Seingat saya, saya sendiri butuh beberapa bulan untuk membuat 2 lembar proposal itu. Belum termasuk mengumpulkan referensi dan membaca jurnal-jurnal yang dibutuhkan.  Belum termasuk ngopi dan cari inspirasinya dan corat-coret brainstorming sendiri… sambil ngemong anak dan ngobrol sama bojo.

Begitulah. Semoga bermanfaat buat kalian yang mengejar cita-cita kuliah PhD. tetap berjuang ya…!

.

.

.

Note: saat catatan ini ditulis, saya udah jadi mahasiswa PhD di SPORTEXR University of Birmingham, and the school is always the best 10 in the world with more than 50% its publication has worldwide impact. Alhamdulillah, masuk sekolah favorit!  Kalau ingin mengetahui lika-liku perjalanan kuliah saya, yang ditulis random setengah curhat, silahkan lihat tulisan dengan semua judul “surviving the loop”.

 

 

 

 

Dipublikasi di beasiswa | 1 Komentar